Damai Dalam Pertentangan
Oleh KH. Abdurrahman Wahid
Memang ironis kalau simbol lebih dikenal dari kenyataan. Tapi
itulah yang terjadi di Tokyo bulan lalu, April 1983. Film Gandhi, yang baru
saja memenangkan delapan Oscar di Hollywood, diputar serentak di sekian
bioskop. Karcis dibeli berebutan . Masyarakat Jepang rupanya disentuh nuraninya
oleh film yang menggambarkan perlawanan tanpa kekerasan.
Namun sebuah kejadian lain di Tokyo waktu itu hampir-hampir
tidak memperoleh perhatian. Hanya dimuat dalam berita pendek di sudut bawah
koran-koran Jepang: Uskup Agung Helder Camara menerima Hadiah Niwano untuk
perdamaian. Padahal tahun inilah hadiah itu pertama kali di berikan.
Hadiah Niwano rencananya akan dikeluarkan tiap tahun oleh
Yayasan Perdamaian Niwano, salah satu lembaga yang berasal dari gerakan kaum
Budhis terbesar di Jepang, Rissbo-Kosei-Kai. Di samping memberikan hadiah untuk
prestasi terbaik dalam menumbuhkan saling pengertian antar agama dan memajukan
perdamaian, yayasan itu juga menjadi sponsor Konperensi Dunia tentang Agama dan
Perdamaian (World Conference on Peace and Religion) yang sudah berlangsung tiga
kali sampai saat ini.
Dan hadiah Niwano justru punya arti penting oleh pemilihan
pemenangnya yang pertama kali ini: Uskup Agung Olinda-Recife, Brazilia, Helder
Pessoa Camara, yang oleh penggemarnya disebut Dom Helder. Ialah "uskup
merah". Yang berarti, hadiah perdamaian itu diberikan berdasar
pertimbangan yang tidak konvensional tentang ‘perdamaian' itu sendiri. Ini
menjadi jelas bila bentuk penghargaan baru itu dibandingkan dengan Hadiah Nobel
untuk perdamaian.
‘Perdamaian', dalam
Hadiah Nobel, mengandung arti menghindarkan , melerai, mengurangi atau
menyelesaikan konflik. Konfliknyapun tidak dibatasi, baik terorisme bersenjata
di Irlandia Utara maupun pertentangan politik seperti sengketa Arab-Israel.
Tidak heran kalau dari pejuang palang merah sampai pejabat pemertintah dapat
meraih penghargaan itu ( Sadat dan Begin, misalnya ). Juga pejuang kemanusiaan
dalam arti umum seperti Albert Schweitzer yang bergulat dengan penyakit Lepra
di Afrika Hitam, atau suster Marie Therese yang mengurusi kaum melarat di
Calcutta, India.
Dalam wawasan serba konvensional itu yang ditinggalkan
Yayasan Niwano, setidaknya tahun ini. ‘Uskup Merah' Dom Helder tidak akan
memperoleh julukan julukan merah kalau ia menghindar dari konflik. Yang
dilakukannya justru mendorong berlangsungnya perlawanan terhadap kekuasaan
militer yang menindas rakyat dan struktur yang timpang, di negaranya sendiri
maupun di seluruh Amerika Latin umumnya.
Hanya saja perlawanan yang diserukan dan ditunjangnya bukan
perlawanan bersenjata, apalagi terorisme. Dan disini ia memenuhi kedua Krieria
Yayasan Niwano: memajukan perdamaian dan sekaligus mengembangkan saling
pengertian antar agama. Dan caranya dianggap unik.
Bermula dari keyakinan akan kebenaran moralitas yang
bersandar pada rasa kasih sayang, ia menghimbau kalangan rohaniawan agamanya
sendiri untuk menegakkan masyarakat baru yang tidak diwarnai penindasan. Upaya
menghilangkan penindasan berarti kesediaan untuk turut menegakkan struktur ekonomi
yang adil - yang bebas dari ekploitasi kalangan yang oleh Dom Helder di sebut
‘mereka yang memiliki uang', alias kaum modal. Kalau pemerintah, dan kekuasaan
yang ada, mengukuhkan struktur eksploitatif, kalangan agama harus memunculkan
alternatif mereka di bawah swadaya masyarakat, untuk meningkatkan
kesejahteraan, membebaskan dari kungkungan hukum yang tidak adil dan
memperjuangkan hak-hak asasi.
Petani didorong berani mengambil inisiatif dan memulai
perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, alias Landreform.
Dilanjutkan dengan membentuk usaha prakooperatif. Kaum buruh di kota didorong
berani menuntut hak mereka dari pihak majikan- kalau perlu dengan pemogokan.
Generasi muda diimbau memperjuangkan hak-hak politik sepenuhnya, kalau perlu
dengan demonstrasi. Dan kalangan Intelektual diminta mempelopori jaringan
pendidikan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan golongan miskin ;
penyadaran akan keberadaan mereka dan kemampuan yang mereka miliki untuk
mengubah nasib.
Sikap seperti itu, menurut kacamata Uskup Agung Helder
Camara, adalah inti perdamaian. Itulah upaya menegakkan masyarakat yang
benar-benar adil. Hanya saja upaya tersebut dilakukan tidak dengan merobohkan
sistem kekuasaan yang ada, melainkan mengubahnya berangsur- angsur.. Tindak kekerasan
dari pemegang kekuasaan harus dihadapi dengan sikap menentang bentuk kekerasan
itu sendiri. Disini bertemulah sikap menjunjung tinggi perdamaian (tanpa
mengurangi sedikit pun kewajibang menentang struktur masyarakat yang timpang )
di satu pihak dan sikap mengembangkan saling pengertian antar agama di pihak
lain.
Dom Helder memang secara terbuka ‘meminjam' cara-cara yang
dikembangkan agama lain. Yaitu dari perjuangan Mahatma Gandhi di lingkungan
agama Hindu dan Martin Luther King di kalangan agama Protestan. Gandhi
memperjuangkan kemerdekaan India, sedangkan King memperjuangkan hak-hak sipil
golongan kulit hitam di Amerika Serikat, namun keteguhan mereka untuk berjuang
secara militan tanpa kekerasan adalah sesuatu yang secara universal dapat
dilakukan kalangan mana pun termasuk kalangan Katholik Amerika Latin - mungkin
demikian jalan pikiran Helder . Bukankah dengan saling pengertian mendasar
antaragama seperti itu, masing-masing agama akan memperkaya diri dalam mencari
bekal perjuangan menegakkan moralitas, keadilan, dan kasih sayang?
Banyak yang dapat diambil dari kiprah menegakkan perdamaian
di tengah pertentangan, dan saling pengertian di tengah perbedaan ajaana dan
paham. Relevankah pelajaran itu bagi kita ? Kita sendiri sudah tentu tahu
jawabannya - walaupun aneh juga bahwa dari Indonesia datang pencalonan untuk
hadiah tersebut, yang mengusulkan seorang jendral. Konsepnya tentang perdamaian
tentu lain lagi.
(Sumber: TEMPO, 21 Mei
1983)