Ketika
darah yang keluar, positif dihukumi haid atau nifas, maka ada beberapa hal yang
diharamkan bagi wanita. Yaitu:
1. Sholat
(wajib maupun sunah).
Sabda
Rosulillah SAW:
إذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة. ( رواه البخارى )
Artinya: " Jika kamu (wanita)
menghadapi/mengalami
haid
maka tinggalkanlah sholat. (HR. Bukhori)
Sholat
yang ditinggalkan selama masa haid/nifas tidak boleh diqodo’. Sebab tidak ada
perintah qodo’ dari syara'. Dan hal itu dianggap akan menimbulkan masyaqoh
(kesulitan), mengingat kewajiban sholat sehari semalam lima kali.
Bagi
kaum wanita tidak usah khawatir akan hilangnya pahala dengan larangan sholat
baginya. Sebab jika dalam meninggalkan sholat dikarenakan haid, diniati tunduk
dan mengikuti perintah Allah, ia akan tetap mendapat pahala.
2. Sujud
syukur dan tilawah.
Sujud
syukur adalah sujud yang dilakukan sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas
datangnya ni’mat atau terlepas dari mara bahaya yang mengancamnya. Seperti
lahirnya sang anak, dapat kedudukan atau selamat dari musibah banjir, kebakaran
dan lain-lain.
Sedangkan
sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang yang membaca atau
mendengar ayat sajdah di dalam AI-Qur’an. Pada dasarnya kedua sujud ini
hukumnya sunah dilakukan, bila ada sebab-sebab yang telah disebutkan di atas.
Namun karena syarat sahnya kedua sujud ini sama dengan syarat sahnya sholat,
maka bagi wanita yang mengalami haid/nifas, tidak sah dan haram melakukannya.
3. Puasa
(wajib maupun sunah).
Rosulullah
bereabda:
" اليس إذا حاضت المرأة لم تصلّى ولم نصم
٠ (متفق عليه فى
حديث طويل(
Artinya
: “Bukankah perempuan apabila sedang haid tidak boleh sholat dan puasa? "
(HR. Bukhori dan Muslim)
Berbeda
dengan sholat. puasa yang ditinggalkan itu wajib diqdo’i. Mengingat puasa hanya
sekali (1 bulan) dalam setahun, sehingga dianggap tidak timbul masyaqoh.
4. Thowaf(wajib
maupun sunah).
Semua
ibadah haji boleh dilakukan oleh wanita yang haid, kecuali thowafdan sliolat
sunah thowaf.
Rosululloh
SAW bersabda:
Artinya
: Dari 'Aisyah RA, Dia berkata: Ketika kami sumpai di Sarif saya mengalami haid.
Maka nabi SAW bersabda: “Lakukanlah semua hal yang harus dilakukan
oleh orang yang haji, tetapi engkau tidak boleh thowaf di Baitulloh sehingga
engkau suci (dari haid) (HR. Bukhori dan Muslim).
5. Membaca
Al-Qur’an
Rosulullah
bersabda:
لا يقرأ الجنب ولا الحائد شيئا من القران. ( رواه الترمذى )
Artinya: ٠'
Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub
dan
wanita yang sedang haid membaca sesuatu (ayat) dari Al-Qur’an(HR. Turmudi)
Namun
dalam hal ini bila dalam melafadzkan Al-Qur’an diniati dzikir/do’a, atau dibaca
dalam hati maka hukumnya diperbolehkan.
Misalnya
ketika akan berdandan membaca: بسم الله ١لرحمن ١لرحيم atau sewaktu akan naik kendaraan membaca : سبحان الذى سخرلناهذاوماكناله مقرنين dan
di saat terkena musibah membaca : انّالله وإنّااليه
راجعون
6.
Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an.
Yang
dimaksud Mushaf di sini adalah setiap sesuatu yang ditulisi A-Qur’an, meski
kurang dari satu ayat, untuk tujuan dirosah (dibaca). Namun bila yang disentuh
atau yang dibawa adalah Al-Qur'an yang ditafsiri, maka tidak diharamkan, selama
tafsirnya lebih banyak dari Al-Qur’an-nya. Seperti kitab tafsir Jalalain,
Tafsir Munir dan lain-lain. Atau Al- Qur’an dibawa besertaan dengan barang
lain, semisal di dalam tas, dengan tidak bertujuan membawa Al-Qur’an.
Firman
Alloh menyatakan:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (٧٧)فِي كِتَابٍ
مَكْنُونٍ (٧٨)لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ (٧٩)تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(٨٠)
Artinya:
Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak (boleh) menyentuhnya kecuali hamba - hamba
yang disucikan, diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Ay'at
ini, oleh sebagian ulama dijadikan salah satu dasar tidak diperbolehkan
menyentuh Al-Qur’an bagi orang yang hadas.
Dan
didukung dengan Hadits Nabi:
Artinya:
Sesungguhnya Nabi telah berkirim surat kepada penduduk Kota Yaman, dalam isi
suratnya Nabi berpesan:" jangan sampai menyentuh Al-Qur’an kecuali orang
yang suci (dari hadas)". (HR. Ibnu Hiban)
Sedangkan
hukum haramnya membawa Al-Qur'an bagi orang haid/nifas, para ulama mengqiyaskan
(menyamakan) dengan keharaman menyentuhnya.
Dikecualikan
dari permasalahan di atas, bilamana dalam menyentuh atau membawa Al-Qur'an ada
dorurot. Seperti untuk menghindarkannya dari kebakaran, banjir atau dikuasai
orang kafir, maka hukum membawanya untuk hal-hal seperti di atas adalah wajib
meski dalam keadaan haid/nifas.
7. Berdiam
diri di dalam masjid.
Hadits
Nabi menjelaskan: ٠
إنى لآ أحلّ المسجد لحائض ولاجنب (رواه ابوداووو)
Artinya:
“Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan tidak pula bagi
orang yang junub"(HR. Abu Dawud)
Keharaman
ini disebabkan karena masjid adalah rumah Allah (Baitullah). Sehingga tidak
patut bila didiami oleh orang orang yang berhadas besar, meskipun diniati i’tikaf.
Namun khusus untuk lewat dalam masjid, tidak haram bila tidak ada kekhawatiran
ada darah yang mengenai masjid.
8. Dicerai.
Hal
ini diharamkan, sebab bila sang isteri dicerai saat haid, maka akan menjadi penyebab
bertambah lamanya masa ‘iddah (penantian untuk memastikan kosongnya rahim).
Sebab masa iddah yang haras ia lakukan adalah tiga kali suci dari masa haid, sehingga
untuk menjalani tiga sucinya ia harus menghabiskan dulu masa haidnya. Dan hal
ini jelas akan menambah panjangnya penderitaan wanita yang diceraikan, tatkala
ingin menikah lagi.
9.
Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.
Keharaman
ini merujuk pada Hadits Nabi:
عن معاد ابن جبل اته سأل
النبي مايحل للرجل لامراته وهى حائض؟ فقال: ما فوق الإزار. ( رواه ابو داود)
Artinya:
Diceritakan dari sahabat Mu'adz bin Jabal, bahwa ia bertanya kepada Nabi, "Apa
yang halal dilakukan seorang suami pada istrinya di suat haid?” Rosulillah menjawab:
"Bersentuhan
kulit pada selain anggota antara lutut dan pusar". (HR.Abu Daud).
Menurut
para Ulama, menyetubuhi istri di saat haid, termasuk dosa besar, meskipun tidak
sampai mewajibkan kafarot. Dan banyak dari kalangan kedokteran maupun ulama
mengemukakan bahwa bersetubuh di Sitat istri haid atau darah sudah berhenti,
namun belum mandi, akan berakibat buruk pada kesehatan. Di antaranya komentar
Al- Imant Al- Ghozali yang menyebutkan bahwa hal tersebut akan menimbulkan
penyakit kulit yang dahsyat pada dirinya, dan mungkin pada anak yang akan lahir
kelak.
Menggauli
istri di saat haid tersebut diharamkan, kalau memang disengaja dan tahu bahwa
itu adalah haram. Sebab jika mereka tidak tahu wujudnya haid atau tidak
mengetahui bahwa hal itu diharamkan, lupa atau dipaksa, maka hal itu tidak
dihukumi haram. Permasalahan ini sesuai dengan hadits Rosulillah yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan Imam Baihaqi: ٠
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengampuni perbuatan umatku
disebabkan ketidaksengujaan, lupa atau dipaksa. (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)
Kemudian
bagi seorang yang terlanjur menggauli istrinya di saat Haid, disunahkan untuk
shodaqoh satu dinar (3,8 gram emas), jika saat bersetubuh darah haid keluar
dengan deras. Dan shodaqoh setengah dinar di saat darah haid menjelang
berhenti.
Sumber: “Sumber Rujukan Permasalahan Wanita Menuju Wanita Shalihah”, diterbitkan oleh Lajnah Bahtsul Masaa-il (MHM PP Lirboyo Kediri) dari berbagai kitab rujukan.
shalihah - Islam 100% Sempurna